Entri Populer

Jumat, 20 Januari 2012

Dipercaya Jadi Tutor Pembuatan Batik di Kaledonia Baru

Memiliki keahlian istimewa membuat Dini Hasan (52) mendapat kesempatan istimewa. Meski hanya lulusan sekolah dasar, pria asal Pekalongan ini dipercaya mengajar di perguruan tinggi.

BERKAT kemampuan di bidang desain batik, Dini sekarang menjadi dosen luar biasa di Politeknik Pusmanu Pekalongan. Kesempatan mengajar di depan mahasiswa itu tidak datang tiba-tiba.

Suami Umi Adisah itu sebelumnya kondang sebagai desainer batik ternama di Pekalongan. Hasil kreasinya yang sudah mencapai ratusan buah dimanfaatkan oleh para pengusaha batik.

Pria yang lahir 20 Juli 1959 ini tak hanya mengembangkan batik sandang, melainkan juga nonsandang. Dia, misalnya, mendesain batik di atas media kayu, tembok, dan keramik.


’’Dari kreasi ini, Politeknik Pusmanu menarik saya sebagai dosen luar biasa sejak 2009. Perekrutan ini karena Pusmanu saat itu satu-satunya perguruan tinggi di Indonesia yang membuka Jurusan Teknik Batik. Saya pun mengajar mata kuliah batik,’’ tutur Dini di Politeknik Pusmanu, beberapa waktu lalu.

Pada awal-awal mengajar, Dini mengaku grogi. Lama-kelamaan, dia tak merasa canggung. Sekarang Dini bahkan kerap dipercaya mendampingi tamu kampus untuk menjelaskan seluk-beluk batik. Dia tak hanya membeberkan teknik pembuatan batik.

Kepada para tamu, filosofi di balik warisan budaya leluhur ini juga dipaparkan. Di kampus kesayangannya, Dini diberi kebebasan mengembangkan batik warna alam.
Politenik Pusmanu sudah mendata 65 jenis pohon yang digunakan untuk bahan warna alam. Dini pun tekun mengeksplorasi bahan warna alam itu untuk mendapatkan warna tertentu yang menarik bagi masyarakat.

’’Selama ini, dari bahan warna alam itu hanya keluar warna coklat atau sogan seperti warna batik yang diproduksi di Solo dan Yogyakarta. Saya sudah menemukan beberapa warna alam berupa warna hitam pekat, kuning, dan oranye. Hasil percobaan itu telah didokumentasikan di kampus. Ke depan bakal dikembangkan untuk pengembangan batik warna alam,’’ terang dia.

Dia menjamin penemuan warna alam baru itu tak akan dirahasiakan. Masyarakat yang memerlukan pengetahuan batik warna alam bisa meminta informasi ke Pusmanu.
’’Tidak ada yang kami sembunyikan. Ini berbeda dengan pengusaha. Ketika menemukan warna alam yang bagus, mereka merahasiakannya karena khawatir tersaingi,’’ papar Dini.

Autodidak

Keahlian Dini berawal dari belajar desain batik secara autodidak sekitar 1970-an di rumah pamannya di Wonopringgo, Pekalongan. Dia kemudian sering bertemu dengan desainer nasional seperti Amri Yahya, Gea Sukasah, dan mendiang Iwan Tirta.
Dini tak menyia-nyiakan pertemuan-pertemuan itu. Dia mendapat pengalaman berharga selama bersama-sama para tokoh batik tersebut. Kepada mereka, dia belajar mengenai desain dan teknik pembuatan batik.

Sayang, ratusan kreasi yang dibikinnya tidak didokumentasikan. Pasalnya, desain langsung diserahkan kepada si pemesan.
Lantaran tak didokumentasikan, Dini tak bisa memastikan jumlah karya yang telah dihasilkan. Dia hanya bisa memperkirakan telah membuat ratusan desain tanpa tahu angka pasti.

Padahal, desainer nasional seperti almarhum Iwan Tirta diketahui memiliki 3.000 desain batik. Masing-masing desain bisa dikembangkan lagi sehingga tak kesulitan menciptakan kreasi baru di masa depan.
’’Kelemahan saya baru diketahui sekarang. Saya tidak berpikir sejauh itu. Yang ada dalam pikiran, desain telah dibeli sehingga lebih baik tidak memiliki dokumen. Jika memiliki dokumen ada kecenderungan untuk membuat lagi dan dijual lagi. Ini kan tidak benar,’’ sesalnya.
Berkat keahlian mendesain batik pula, Dini mendapat kesempatan istimewa melanglang buana. Pada 28 Desember nanti, dia bakal terbang ke Kaledonia Baru, koloni Prancis di Pasifik Selatan.

Oleh KBRI di negara yang bernama asli Nouvelle-Caledonie itu, Dini diminta menjadi tutor pembuatan batik. Dia tak terbang sendirian. Bersamanya ikut pula pemilik Tobal Batik, Umar Achmad. ’’Kami akan mengadakan workshop di sana,’’ ungkapnya.
Bisa berbahasa Inggris? Dini menggelengkan kepala. Namun, dia menyebut sebagian penduduk Kaledonia Baru merupakan etnis Jawa.
Dahulu, orang Jawa pergi ke Kaledonia Baru untuk menjadi kuli kontrak di tambang nikel. Perpindahan itu serupa dengan orang Jawa Suriname.

Warga asal Jawa dan keturunannya pun masih tetap menggunakan bahasa Jawa. Karena itu, Dini mengaku tak akan grogi ketika harus menjelaskan batik.
Dia juga akan mempresentasikan keberadaan Museum Batik di Pekalongan. ’’Kalau mereka bisa berbahasa Jawa, saya akan menggunakan bahasa Jawa,’’ tandasnya.
Dini tak hanya membawa pengetahuan dan keterampilan. Dia membuat batik khusus dengan desain peta Kaledonia Baru. Batik itu dipigura dan akan diserahkan kepada penduduk negara itu sebagai kenang-kenangan. (65)

Tidak ada komentar: